analisis novel tenggelamnya kapal van der wijck

AnalisisNovel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Laporan ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Bahasa Indonesia dari. Bapak Ade Irwan Setiawan, S.Pd. Disusun Oleh: Tema Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini diceritakan kisah cinta yang tak sampai antara Zainuddin dengan Hayati karena dihalangi oleh tembok besar yang disebut adat. 85tahun lamanya kapal tenggelam di perairan Brondong, Lamongan Van Der Wijck. Kapal itu memiliki julukan “de meeuw" atau “The Seagull” karena penampilannya yang tampak sangat anggun dan begitu tenang. Kapal Van der Wijck merupakan kapal kargo penumpang bertenaga dari uap uap. Dari peristiwa tenggelamnya kapal ini berdiri sebuah monumen sebagai Ilike the topics mentioned in this story - religion, culture, the difference in social status. Made me wonder the whole time I was reading this, what does the author means by Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck and I didn't know it was literally talking about a sinking ship. A great title but the thing only happened at the end. Nun agak di tengah, di tepi pagaran anggar kelihatan puncak dari sebuah kapal yang telah berpuluh tahun ditenggelamkan di sana. Dia seakan-akan penjaga yang teguh, seakan-akan stasiun dari setan dan hantu-hantu penghuni pulau Laya-laya yang penuh dengan kegaiban itu. Kutipan Novel "Tenggelamnya Kapal van der Wijck" karya Hamka di atas Penelitianini bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena tindak tutur pada jenis ilokusi dalam novel karangan Buya Hamka bertajuk Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck tahun 2013 terbitan Balai Pustaka. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-analitis dengan mengklasifikasikan dialog-dialog dalam novel yang berkait dengan Süddeutsche Zeitung Heirats Und Bekanntschaften Suche. SINOPSIS NOVEL “TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK” Judul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Tahun 1976 Karya HAMKA Haji Abdul Malik Karim Amrullah Penerbit Bulan Bintang, Jakarta I. Tokoh Utama 1. Zainuddin 2. Hayati 3. Khadijah 4. Aziz suami hayati II. Tokoh Pembantu 1. Datuk Mantari labih paman pandekar sutan 2. Pandekar Sutan ayahanda zainuddin 3. Daeng Habibah ibunda zainuddin 4. Mak Base ibu angkat zainuddin 5. Muluk sahabat zainuddin 6. Mak tengah lima ibunda hayati Ringkasan Cerita Di tepi pantai, di antara Kampung Baru dan Kampung Mariso berdiri sebuah rumah bentuk Mengkasar, yang salah satu jendelanya menghadap ke laut. Di sanalah hidup seorang pemuda yang bernama Zainuddin. Saat ia termenung, ia teringat pesan ayahnya ketika akan meninggal. Ayahnya mengatakan bahwa negeri aslinya bukanlah Makassar. Di Negeri Batipuh Sapuluh Koto Padang panjang 30 tahun lampau, seorang pemuda bergelar Pendekar Sutan, kemenakan Datuk Mantari Labih, yang merupakan pewaris tunggal harta peninggalan ibunya. Karena tak bersaudara perempuan, maka harta bendanya diurus oleh ibunya. Datuk Mantari labih hanya bisa menghabiskan harta tersebut, sedangkan untuk kemenakannya tak boleh menggunakannya. Hingga suatu hari, ketika Pendekar Sutan ingin menikah namun tak diizinkan menggunakan hartanya tersebut, terjadilah pertengkaran yang membuat Datuk Mantari labih menemui ajalnya. Pendekar Sutan ditangkap, saat itu ia baru berusia 15 tahun. Ia dibuang ke Cilacap, kemudian dibawa ke Tanah Bugis. Karena Perang Bone, akhirnya ia sampai di Tanah Makassar. Beberapa tahun berjalan, Pendekar Sutan bebas dan menikah dengan Daeng Habibah, putri seorang penyebar agama islam keturunan Melayu. Empat tahun kemudian, lahirlah Zainuddin. Saat Zainuddin masih kecil, ibunya meninggal. Beberapa bulan kemudian ayahnya menyusul ibunya. Ia diasuh Mak Base. Pada suatu hari, Zainuddin meminta izin Mak Base untuk pergi ke Padang Panjang, negeri asli ayahnya. Dengan berat hati, Mak Base melepas Zainuddin pergi. Sampai di Padang Panjang, Zainuddin langsung menuju Negeri Batipuh. Sesampai di sanan, ia begitu gembira, namun lama-lama kabahagiaannya itu hilang karena semuanya ternyata tak seperti yang ia harpakan. Ia masih dianggap orang asing, dianggap orang Bugis, orang Makassar. Betapa malang dirinya, karena di negeri ibunya ia juga dianggap orang asing, orang Padang. Ia pun jenuh hidup di padang, dan saat itulah ia bertemu Hayati, seorang gadis Minang yang membuat hatinya gelisah, menjadikannya alasan untuk tetap hidup di sana. Berawal dari surat-menyurat, mereka pun menjadi semakin dekat dan kahirnya saling cinta. Kabar kedekatan mereka tersiar luas dan menjadi bahan gunjingan semua orang Minang. Karena keluarga Hayati merupakan keturunan terpandang, maka hal itu menjadi aib bagi keluarganya. Zainuddin dipanggil oleh mamak Hayati, dengan alasan demi kemaslahatan Hayati, mamak Hayati menyuruh Zainuddin pergi meninggalkan Batipuh. Zainuddin pindah ke Padang Panjang dengan berat hati. Hayati dan Zainuddin berjanji untuk saling setia dan terus berkiriman surat. Suatu hari, Hayati datang ke Padang Panjang. Ia menginap di rumah temannya bernama Khadijah. Satu peluang untuk melepas rasa rindu pun terbayang di benak Hayati dan Zainuddin. Namun hal itu terhalang oleh adanya pihak ketiga, yaitu Aziz, kakak Khadijah yang juga tertarik oleh kecantikan Hayati. Mak Base meninggal, dan mewariskan banyak harta kepada Zainuddin. Karena itu ia akhirnya mengirim surat lamaran kepada Hayati di Batipuh. Hal itu bersamaan pula dengan datangnyarombongan dari pihak Aziz yang juga hendak melamar Hayati. Zainuddin tanpa menyebutkan harta kekayaan yang dimilikinya, akhirnya ditolak oleh ninik mamak Hayati dan menerima pinangan Aziz yang di mata mereka lebih beradab. Zainuddin tak kuasa menerima penolakan tersebut. Apalagi kata sahabatnya, Muluk, Aziz adalah seorang yang bejat moralnya. Hayati juga merasakan kegetiran. Namun apalah dayanya di hadapan ninik mamaknya. Setelah pernikahan Hayati, Zainuddin jatuh sakit. Untuk melupakan masa lalunya, Zainuddin dan Muluk pindah ke Jakarta. Di sana Zainuddin mulai menunjukkan kepandaiannya menulis. Karyanya dikenal masyarakat dengan nama letter “Z”. Zainuddin dan Muluk pindah ke Surabaya, dan ia pun akhirnya menjadi pengarang terkenal yang dikenal sebagai hartawan yang dermawan. Hayati dan Aziz hijrah ke Surabaya. Semakin lama watak asli Aziz semakin terlihat juga. Ia suka berjudi dan main perempuan. Kehidupan perekonomian mereka makin memprihatinkan dan terlilit banyak hutang. Mereka diusir dari kontrakan, dan secara kebetulan mereka bertemu dengan Zainuddin. Mereka singgah di rumah Zainuddin. Karena tak kuasa menanggung malu atas kebaikan Zainuddin, Aziz meninggalkan istrinya untuk mencari pekerjaan ke Banyuwangi. Beberapa hari kemudian, datang dua surat dari Aziz. Yang pertama berisi surat perceraian untuk Hayati, yang kedua berisi surat permintaan maaf dan permintaan agar Zainuddin mau menerima Hayati kembali. Setelah itu datang berita bahwa Aziz ditemukan bunuh diri di kamarnya. Hayati juga meminta maaf kepada Zainuddin dan rela mengabdi kepadanya. Namun karena masih merasa sakit hati, Zainuddin menyuruh Hayat pulang ke kampung halamannya saja. Esok harinya, Hayati pulang dengan menumpang Kapal Van Der Wijck. Setelah Hayati pergi, barulah Zainuddin menyadari bahwa ia tak bisa hidup tanpa Hayati. Apalagi setelah membaca surat Hayati yang bertulis “aku cinta engkau, dan kalau kumati, adalah kematianku di dalam mengenang engkau.” Maka segeralah ia hendak menyusul Hayati ke Jakarta. Saat sedang bersiap-siap, tersiar kabar bahwa kapal Van Der Wijck tenggelam. Seketika Zainuddin langsung syok, dan langsung pergi ke Tuban bersama Muluk untuk mencari Hayati. Di sebuah rumah sakit di daerah Lamongan, Zainuddin menemukan Hayati yang terbarIng lemah sambil memegangi foto Zainuddin. Dan hari itu adalah pertemuan terakhir mereka, karena setelah Hayati berpesan kepada Zainuddin, Hayati meninggal dalam dekapan Zainuddin. Sejak saat itu, Zainuddin menjadi pemenung. Dan tanpa disadari siapapun ia meninggal dunia. Kata Muluk, Zainuddin meninggal karena sakit. Ia dikubur bersebaelahan dengan pusara Hayati. RIWAYAT HIDUP HAMKA Haji Abdul Malik Karim Amrullah HAMKA adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau lahir di Molek, Meninjau, Sumatra Barat, Indonesia pada tanggal 17 Februari 1908. Ayah beliau bernama Syeh Abdul Karim bin Amrullah Haji Rasul. Ketika Hamka berumur 10 tahun ayahnya membangun Thawalib Sumatra di Padang Panjang. Di sana Hamka belajar tentang ilmu agama dan bahasa Arab. Di samping belajar ilmu agama pada ayahnya, Hamka juga belajar pada beberapa ahli Islam yang terkenal seperti Syeh Ibrahim Musa, Syeh Ahmad Rasyid, Sutan Mansyur dan Ki Bagus Hadikusumo. Pada tahun 1927 Hamka menjadi guru agama di Perkebunan Tinggi Medan dan Padang Panjang tahun 1929. tahun 1957-1958 Hamka sebagai dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhamadiyah Padang Panjang. Hamka tertarik pada beberapa ilmu pengetahuan seperti sastra, sejarah, sosiologi, dan politik. Pada tahun 1928 Hamka menjadi ketua Muhammadiyah di Padang Panjang. Tahun 1929 beliau membangun “Pusat Latihan Pendakwah Muhammadiyah” dua tahun kemudian menjadi ketua Muhammadiyah di Sumatra Barat dan Pada 26 juli 1957 beliau menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia. Hamka sudah menulis beberapa buku seperti Tafsir Al-Azhar 5 jilid dan novel seperti; Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di bawah Lindungan Ka’bah, Merantau Ke Deli, Di dalam Lembah Kehidupan dan sebagainya. Hamka memperoleh Doctor Honoris Causa dari Universitas Al- Azhar 1958, Doctor Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia 1974 dan pada 24 juli 1981 Hamka meninggal dunia. BUDAYA MATRILINEAL MASYARAKAT MINANGKABAU Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen dari perkauman tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam sukunya sebagaimana yang berlaku dalam sistem kata lain seorang anak di minangkabau akan mengikuti suku ibunya. Segala sesuatunya diatur menurut garis keturunan ada sanksi hukum yang jelas mengenai keberadaan sistem matrilineal ini, artinya tidak ada sanksi hukum yang mengikat bila seseorang melakukan pelanggaran terhadap sistem ini. Sistem ini hanya diajarkan secara turun temurun kemudian disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya. Namun demikian, sejauh manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada hakekatnya tetap dan tidak beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu sendiri. Pada dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga, melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah pusaka dan sawah ladang. Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat penyimpanan. Itulah sebabnya dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak. Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan mempertahankannya. Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak. Perempuan minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan perempuan. Kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam adat Minangkabau berada dalam posisi seimbang. Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian maupun pembagian harta pusaka. Perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk keperluannya anak beranak. Peranan laki-laki di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya dengan seimbang dan sejalan. Di dalam kaumnya seorang laki-laki berawal sebagai kemenakan. Sebagai kemenakan dia harus mematuhi segala aturan yang ada di dalam kaum. Belajar untuk mengetahui semua aset kaumnya dan semua anggota keluarga kaumnya. Oleh karena itu, ketika seseorang berstatus menjadi kemenakan, dia selalu disuruh ke sana ke mari untuk mengetahui segala hal tentang adat dan perkaumannya. Dalam kaitan ini, peranan surau menjadi penting, karena surau adalah sarana tempat mempelajari semua hal itu baik dari mamaknya sendiri maupun dari orang lain yang berada di surau tersebut. Dalam menentukan status kemenakan sebagai pewaris sako dan pusako, anak kemenakan dikelompokan menjadi tiga kelompok a. Kemenakan di bawah daguak Kemenakan di bawah daguak adalah penerima langsung waris sako dan pusako dari mamaknya b. Kemenakan di bawah pusek Kemenakan di bawah pusek adalah penerima waris apabila kemenakan di bawah daguak tidak ada punah. c. Kemenakan di bawah lutuik Kemenakan di bawah lutuik, umumnya tidak diikutkan dalam pewarisan sako dan pusako kaum. Pada giliran berikutnya, setelah dia dewasa, dia akan menjadi mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, tugas itu harus dijalaninya. Dia bekerja di sawah kaumnya untuk saudara perempuannya anak-beranak yang sekaligus itulah pula kemenakannya. Dia mulai ikut mengatur, walau tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan mamaknya yang lebih tinggi, yaitu penghulu kaum. Dia akan memegang kendali kaumnya sebagai penghulu. Gelar kebesaran diberikan kepadanya, dengan sebutan datuk. Seorang penghulu berkewajiban menjaga keutuhan kaum, mengatur pemakaian harta pusaka. Dia juga bertindak terhadap hal-hal yang berada di luar kaumnya untuk kepentingan kaumnya. Setiap laki-laki terhadap kaumnya selalu diajarkan; kalau tidak dapat menambah maksudnya harta pusaka kaum, jangan mengurangi maksudnya, menjual,menggadai atau menjadikan milik sendiri. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa peranan seorang laki-laki di dalam kaum disimpulkan dalam ajaran adatnya Tagak badunsanak mamaga dunsanak Tagak basuku mamaga suku Tagak ba kampuang mamaga kampuang Tagak ba nagari mamaga nagari Selain berperan di dalam kaum sebagai kemanakan, mamak atau penghulu, seorang anak lelaki setelah dia kawin dan berumah tangga, dia mempunyai peranan lain sebagai tamu atau pendatang di dalam kaum isterinya. Artinya di sini, dia sebagai duta pihak kaumnya di dalam kaum istrinya, dan istri sebagai duta kaumnya pula di dalam kaum sama lain harus menjaga kesimbangan dalam berbagai hal, termasuk perlakuan-perlakuan terhadap anggota kaum kedua belah pihak. Di dalam kaum istrinya, seorang laki-laki adalah sumando semenda. Sumando ini di dalam masyarakat Minangkabau dibuatkan pula beberapa kategori; a. Sumando ninik mamak Artinya, semenda yang dapat ikut memberikan ketenteraman pada kedua kaum; kaum istrinya dan kaumnya sendiri. Mencarikan jalan keluar terhadap sesuatu persoalan dengan sebijaksana mungkin. Dia lebih berperan sebagai seorang yang arif dan ini yang sangat dituntut pada peran setiap sumando di minangkabau b. Sumando kacang miang Artinya, sumando yang membuat kaum istrinya menjadi gelisah karena dia memunculkan atau mempertajam persoalan-persoalan yang seharusnya tidak seperti ini tidak boleh dipakai. c. Sumando lapik buruk Artinya, sumando yang hanya memikirkan anak istrinya semata tanpa peduli dengan persoalan-persoalan lainnya. ANALISIS SOSIOLOGIS REFLEKSI BUDAYA MATRILINEAL MASYARAKAT MINANGKABAU DALAM NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK KARYA HAMKA TAHUN 1976 Beberapa kutipan penggalan novel menggambarkan nilai-nilai budaya matrilinear dalam suku Minangkabau. Bentuk-bentuk penerapan budaya matrilinear yang dipaparkan oleh HAMKA dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” meliputi silsilah keluarga, pengaturan ahli waris, pernikahan, dan hubungan masyarakat. Dalam silsilah keluarga, seorang anak tidak dianggap sebagai suku Minangkabau jika tidak dilahirkan dari seorang ibu yang berdarah Minangkabau. Bentuk penerapan nilai budaya matrilinear ini digambarkan oleh HAMKA melalui tokoh Zainuddin. Walaupun ayah Zainuddin adalah suku Minangkabau, tetapi Zainuddin tetap dianggap orang asing karena dilahirkan dari seorang ibu yang berdarah Bugis-Makassar. Zainuddin yang meninggalkan tanah kelahirannya di Makassar, pergi ke Padang untuk mencari keluarga ayahnya yang masih hidup. Bukan tidak bertemu, tetapi pertemuan Zainuddin dengan keluarga ayahnya tidak seperti yang dibayangkan oleh Zainuddin. Zainuddin melihat betapa jauh perbedaan budaya antara Bugis-Makassar dengan Minangkabau. Berbeda dengan suku lain di Indonesia, suku Minangkabau adalah satu-satunya suku yang menganut budaya matrilinear. Dalam budaya matrilinear, seorang anak tidak berhak atas harta ayahnya. Jika ayahnya meninggalkan harta setelah wafat, harta tersebut harus beralih tangan ke saudaranya. Hal ini pulalah yang dialami oleh Zainuddin dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya HAMKA. Zainuddin bermaksud tinggal di negeri Padang karena merasa memiliki hak atas harta ayahnya, ternyata harus menerima kenyataan yang berbeda. Zainuddin sama sekali tidak mendapatkan harta tersebut. Dalam hal pernikahan, suku Minangkabau sangat menghargai kaum perempuan. Untuk memutuskan hal ikhwal pernikahan, perempuan juga dimintai pendapatnya. Hal ini dapat dilihat dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya HAMKA. Dalam novel ini, kaum laki-laki meminta pendapat kaum perempuan ketika membicarakan rencana pernikahan Hayati dengan Azis. Tidak hanya seputar urusan keluarga. Nilai-nilai budaya matrilinear diterapkan juga dalam hubungan masyarakat. Orang-orang Minangkabau memandang sebelah mata terhadap suku lain. Suku Minangkabau menerima suku lain bergaul dalam kehidupan bermasyarakat, namun mereka sering membatasi hubungan tersebut. Penggambaran ini diungkapkan oleh HAMKA dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Zainuddin yang dianggap sebagai orang Bugis-Makassar terkadang dikucilkan dalam pergaulan masyarakat. Dalam novel yang ditulisnya ini, kita dapat melihat gambaran bahwa sebenarnya sang pengarang ingin mengkritik adat budayanya sendiri. Hal ini banyak kita dapatkan dari ungkapan dan kata kata si tokoh utama. Sebagaimana karya karya sastra lainnya, novel ini juga mengajarkan kepada kita banyak hal yang terkandung dalam setiap nilai dalam bagiannya masing masing. Dalam karya ini terlihat kekuatan-kekuatan seorang pengarang yang ingin mengembangkan sesuatu yang biasa terjadi pada masyarakat. Sikapnya yang ingin mengolah ceritanya dengan penuh kedalangan dan kesungguhannya dalam menilai kehidupan ini merupakan salah satu yang pantas dipelihara dan dikembangkan. Dalam petualangan hidup Zainuddin mencari jati diri, Zainuddin harus meninggalkan tanah kelahirannya, tanah Makassar, menuju Padang. Selama tinggal di tanah Makassar, Zainuddin merasa belum menemukan jatidiri yang sebenarnya. Orang-orang di sekelilingnya tidak menganggapnya sebagai orang Bugis-Makassar karena Zainuddin dilahirkan dari seorang ayah yang berasal dari Padang dan bersuku Minangkabau. Suku Bugis-Makassar menganut garis keturunan patrilinear, yakni menarik garis keturunan dari ayah. Dengan demikian, orang-orang di sekelilingnya menganggap Zainuddin sebagai orang Minangkabau. Kondisi inilah yang menyebabkan Zainuddin meninggalkan Makassar menuju Padang dengan tujuan mencari keluarga ayahnya. Usaha Zainuddin tidak sia-sia karena berhasil menemukan keluarga ayahnya. Namun lagi-lagi Zainuddin harus terbetuk pada persoalan budaya Minangkabau yang menganut garis keturunan matrilinear, yakni menarik garis keturunan dari ibu. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan penggalan novel di bawah ini. Bilamana Zainuddin telah sampai ke Padang Panjang, negeri yang ditujunya, telah diteruskannya perjalanan ke dusun Batipuh, karena menurut keterangan orang tempat dia bertanya, di sanalah negeri ayahnya yang asli. Seketika dia mengenalkan diri kepada bakonya, orang laksana kejatuhan bintang dari langit, tidak menyangka-nyangka akan beroleh seorang anak muda yang begitu gagah dan pantas, yang menurut orang di Minangkabau dinamai “anak pisang”. Maklumlah orang di sana masyhur di dalam menerima orang baru. Tetapi basa-basi itu lekas pula bosan. Oleh karena yang kandung tidak ada lagi, apalagi ayahnya tidak bersaudara perempuan, dia tinggal di rumah persukuan dekat dari ayahnya. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 21 Pertemuan Zainuddin dengan keluarga ayahnya di tanah kelahiran leluhurnya ternyata tidak memenuhi keinginan Zainuddin untuk menemukan jatidirinya. Dia sama saja dengan orang asing di tanah kelahiran leluhurnya, karena adat dan budaya yang dianut oleh suku Minangkabau yang menyebabkan orang-orang di Padang menganggap Zainuddin bukanlah orang Minangkabau, melainkan orang Bugis-Makassar. Mula-mula datang, sangatlah gembira hati Zainuddin telah sampai ke negeri yang selama ini jadi kenang-kenangannya. Tetapi dari sebulan ke sebulan, kegembiraan itu hilang, sebab rupanya yang dikenang-kenangnya berlainan dengan yang dihadapinya. Dia tidak beroleh hati yang sebagai hati Mak Base, tidak mendapat kecintaan ayah dan bunda. Bukan orang tak suka padanya, suka juga, tapi berlainan kulit dan isi. Jiwanya sendiri mulai merasa bahwa meskipun dia anak orang Minangkabau tulen dia masih dipandang orang pendatang, masih dipandang orang jauh, orang Bugis, orang Mengkasar. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 21 Perjalanan Zainuddin untuk mencari jatidirinya benar-benar terbentur pada masalah adat dan budaya. Zainuddin dihadapkan pada situasi yang sangat sulit. Di satu sisi, Zainuddin ingin mendapat pengakuan sebagai bagian dari suatu suku, namun kenyataan yang dihadapi Zainuddin berbeda. Zainuddin dilahirkan dari seorang ayah yang bersuku Minangkabau dan seorang ibu yang bersuku Bugis-Makassar. Peristiwa-peristiwa ini merupakan gambaran budaya matrilinear yang diangkat oleh HAMKA dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Hal lain yang menunjukkan budaya matrilinear dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” adalah ketika Zainuddin teringat pada pesan Mak Base sebelum Zainuddin berangkat ke Padang untuk mencari keluarga ayahnya. Mak Base menyampaikan kepada Zainuddin bahwa suku Minangkabau berbeda dengan suku lain. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan penggalan novel berikut. Sesudah hampir enam bulan dia tinggal di dusun Batipuh, bilamana dia pergi duduk-duduk ke lepau tempat anak muda-muda bersenda gurau, orang bawa pula dia bergurau, tetapi pandangan orang kepadanya bkan pandangan sama rata, hanya da juga kurangnya. Sehingga lama-lama insaflah dia perkataan Mak Base seketika dia akan berlayar, bahwa adat orang di Minangkabaulain sekali. Bangsa diambil dari ibu. Sebab itu, walaupun seorang anak berayah orang Minangkabau, sebab di negeri lain bangsa diiambil dari ayah, jika ibunya orang lain, walaupun orang Tapanuli atau Bengkulu yang sedekat-dekatnya, dia dipandang orang lain juga. Malang benar nasib anak yang demikian, sebab dalam negeri ibunya dia dipandang orang asing, dan dalam negeri ayahnya dia dipandang orang asing pula. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 22 Kondisi yang dialami oleh Zainuddin tidak hanya menimpa dirinya, melainkan juga keturunannya kelak. Karena budaya matrilinear di negeri Padang, Zainuddin tidak boleh mewariskan gelar kepada keturunannya jika pun Zainuddin dipinjamkan gelar oleh keluarga ayahnya setelah menjalankan ritual-ritual yang telah ditentukan oleh adat. Persyaratan peminjaman gelar dalam budaya matrilinear digambarkan oleh HAMKA dalam novelnya. Tak dapat Zainuddin mengatakan dia orang padang, tak kuasa lidahnya menyebutnya dia orang Minangkabau. Dan dia tidak berhak diberi gelar pusaka, sebab dia tidak bersuku. Meskipun dia kaya raya, misalnya, boleh juga dia gelar pinjaman dari bakonya tetapi gelar itu tak boleh diturunkan pula itu kepada anaknya. Melekatkan gelar itu pun mesti membayar hutang kepada negeri, sembelihkan kerbau dan sapi, panggil ninik mamak dan alim ulama, himbaukan dilabuh nan golong nan ramai. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 22 Budaya matrilinear dalam suku Minangkabau menempatkan suku lain sebagai orang asing walaupun masih ada ikatan darah. Hal inilah yang dialami oleh Zainuddin selama tinggal di Padang. Kakek-neneknya tidak dapat menahan Zainuddin untuk tinggal bersamanya. Pada sangkanya semula jika dia datang ke Minangkabau, dia akan bertemu dengan neneknya, ayah dari ayahnya. Di sanalah dia akan memakan harta benda neneknya dengan leluasa sebagai cucu yang menyambung turunan. Padahal seketika dia datang itu, setelah dicarinya neneknya itu, ditunjukkan orang di sebuah kampung di Ladang Lawas, bertemu seorang tua di sebuah surau kecil, gelarnya Datuk Panduka Emas, dia hanya tercengang-cengang saja sambil berkata, “Oh … rupanya si Amin ada juga meninggalkan anak di Mengkasar.” Cuma sehingga itu pembicaraan orang tua itu, dan tidak ada tambahnya lagi. Dia tak kuasa hendak menahan cucunya tinggal dengan dia, sebab mesti mufakat lebih dahulu dengan segenap keluarga. Padahal sedangkan pihak si Amin Pendekar Sutan, sudah jauh perhubungan keluarga, apalagi dengan anak yang datang dari “Bugis” ini. Sekali itu saja Zainuddin datang kepada neneknya setelah itu tidak lagi. Dan neneknya pun tidak pula memesan-mesankan dia. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 22-23 Kenyataan pahit harus dialami oleh Zainuddin ketika hubungan percintaannya diketahui oleh keluarga Hayati, kekasih hatinya. Keluarga Hayati tidak bisa menerima Zainuddin karena dianggap sebagai orang yang tidak bersuku. Tidak jelas asal-usulnya. “Zainuddin,” ujarnya, “telah banyak nian pembicaraan orang yang kurang enak kudengar terhadap dirimu dan diri kemenakanku. Kata orang tua-tua, telah melakukan perbuatan yang buruk rupa, salah canda, yang pantang benar di dalam negeri yang beradat ini. Diri saya percaya, bahwa engkau tiada melakukan perbuatan yang tidak senonoh dengan kemenakanku, yang dapat merusakkan nama Hayati selama hidupnya. Tetapi, sekarang saya temui engkau untuk memberi engkau nasihat, lebih baik sebelum perbuatan berkelanjutan, sebelum merusakkan nama kami dalam negeri, suku sako turun-temurun, yang belum lekang di panas dan belum lapuk di hujan, supaya engkau surut.” Tercengang Zainuddin menerima pembicaraan yang ganjil itu, bagai ditembak petus tunggal rasa kepalanyal. Lalu dia berkata, “Mengapa Engku berbicara demikian rupa kepada diriku? Sampai membawa nama adat dan keturunan?” “Harus hal itu saya tanyai, karena di dalam adat kami di Minangkabau ini, kemenakan di bawah lindungan mamak. Hayati orang bersuku berhindu berkaum kerabat, dia bukan sembarang orang.” Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 55 Peringatan yang diterima Zainuddin dari keluarga Hayati mengingatkannya pada rencananya mencari jatidiri. Zainuddin menyadari bahwa dia bukanlah siapa-siapa. Ketika berada di Makassar, dia disebut-sebut sebagai orang Minangkabau. Namun jika dia berada di Padang, dia disebut-sebut sebagai orang Bugis-Makassar. Zainuddin tidak dipandang sah sebagai orang Minangkabau walaupun ayahnya berdarah Minangkabau karena budaya matrilinear yang dianut di daerah tersebut. …. Dia teringat dirinya, tak bersuku, rak berhindu, anak orang terbuang, dan tak dipandang sah dalam adat Minangkabau. Sedang Hayati seorang anak bangsawan, turunan penghulu-penghulu pucuk bulat urat tunggang yang berpendam perkuburan, bersasap berjerami di dalam negeri Batipuh itu. Alangkah besarnya korban yang harus ditempuh Hayati jika sekiranya mereka langsung kawin, dan tentu Hayati tiada akan tahan menderita pukulan yang demikian hebat. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 56 Budaya matrilinear semakin menyudutkan Zainuddin dalam pergaulan dengan masyarakat. Tidak hanya sampai di situ. Zainuddin juga harus mengorbankan perasaan cintanya kepada Hayati. Pihak keluaga Hayati menganggap Zainuddin tidak pantas mendampingi Hayati karena bukan dari golongan mereka. Zainuddin bukanlah orang Minangkabau. “Zainuddin bukan mencintai saya sebagaimana Engku katakan itu, tetapi dia hendak menuruti jalan yang lurus, dia hendak mengammbil saja jadi istrinya.” “Mana bisa jadi, Gadis. Menyebut saja pun tidak pantas, kononlah melangsungkan.” “Bagaimana tidak akan bisa jadi, bukankah Zainuddin manusia? Bukankah dia keturunan Minangkabau juga?” “Hai Upik, baru kemarin kau memakan garam dunia, kau belum tahu belit-belitnya. Bukanlah kau sembarang orang, bukan tampan Zainuddin itu jodohmu. Orang yang begitu tak dapat untuk menggantungkan hidupmu, pemenung, pehiba hati, dan kadang-kadang panjang angan. Di zaman sekarang haruslah suami penumpangkan hidup itu seorang yang tentu pencaharian, tentu asal usul. Jika perkawinan dengan orang yang demikian langsung, dan engkau beroleh anak, kemanakah anak itu akan berbako? Tidakkah engkau tahu bahwa Gunung Merapi masih tegak dengan teguhnya? Adat masih berdiri dengan kuat, tak boleh lapuk oleh hujan, tak boleh lekang oleh panas?” Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 58 Budaya matrilinear telah turun-temurun diwariskan di Minangkabau. Hal inilah yang diungkapkan oleh HAMKA melalui dialog tokoh dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Dialog yang mempersoalkan jatidiri Zainuddin sangat jelas menggambarkan pandangan budaya matrilinear dalam suku Minangkabau. “Kan ayahnya orang kita juga!” ujar seorang mamak yang agak muda. “Tak usah engkau berbicara. Rupanya engkau tidak mengerti kedudukan adat istiadat yang diperturun penaik sejak dari ninik yang berdua, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketemanggungan yang dibubutkan layu, yang dikisarkan mati. Meskipun ayahnya orang Batipuh, ibunya bukan orang Minangkabau, mamaknya tidak tentu entah di mana, sukunya tidak ada Tidak ada perpatihnya, tidak ada ketemanggungannya. Kalau dia kita terima menjadi suami anak kemanakan kita, ke mana kemanakan kita hendak menjelang iparnya, ke mana cucu kita berbako, rumit sekali soal ini.” Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 58 Budaya matrilinear lebih jelas dipaparkan oleh HAMKA melalui dialog antara Mulu, sahabat Zainuddin, dengan Hayati. Muluk mengingatkan kepada Hayati tentang peristiwa-peristiwa yang telah dilalui oleh Zainuddian terkait dengan hubungannya bersama Hayati yang dipisahkan oleh adat istiadat suku Minangkabau. “Tak ada ranggas di Tanjung, cumanak ampaian kain. Tak ada emas dikandung, dunsanak jadi rang lain.” Ibunya seorang Mengkasar, mati seketika dia masih perlu kepada bujukan ibu. Hidupnya besar dalam pangkuan orang lain. Ditempuhnya Tanah Minangkabau dengan cita-cita besar, cita-cita hendak menempuh tanah bapa, tanah tempat dia dibangsakan menurut adat istiadat dunia. Kiranya kedatangannya ke sana, dipandang orang laksana minyak dengan air saja, dia tetap dipandang orang Mengkasar, sebagaimana di Mengkasar dia tetap dipandang orang Padang.” Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, halaman 187 Rangkaian peristiwa yang membentuk alur cerita dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya HAMKA sangat kompleks dalam menggambarkan budaya matrilinear yang dianut oleh suku Minangkabau. Dalam novel ini diuraikan secara konkret nilai-nilai budaya matrilinear yang memebedakan suku Minangkabau dengan suku-suku lain, utamanya yang ada di Indonesia. Pengarang hanya menggunakan peristiwa tenggelamnya kapal Van Der Wijck sebagai latar dalam cerita. Sorotan utamanya bukan pada persoalan kapal tersebut, melainkan pada persoalan budaya matrilinear dalam suku Minangkabau yang menyebabkan Zainuddin dan Hayati harus berpisah arah dan mengambil jalan masing-masing MAKALAH BERBICARA TUGAS IDENTIFIKASI NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK OLEH HAMKA D I S U S U N OLEH Nama Sebaya Kristina Sihite Kelas Reguler A NIM 2112111017 UNIVERSITAS NEGERI MEDAN FAKULTAS BAHASA DAN SENI 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat serta karuniaNya kepada saya sehingga saya berhasil menyelesaikan makalah ini yang tepat pada waktunya yang berjudul ”Identifikasi unsur- unsur novel yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck oleh karangan Hamka”. Makalah ini berisikan informasi tentang perjalanan unsur- unsur intrinsik yang ada dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, yang di sertakan dengan sinopsis yang terkandung dalam novel. Dan kiranya dapat memenuhi nilai tugas mata kuliah Berbicara yang diberikan oleh Ibu Dra. Rosdiana Siregar sesuai yang diharapkan. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Demikianlah sebagai kata pengantar, dengan iringan serta harapan semoga tulisan sederhana ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pembaca. Atas semua ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga, semoga segala bantuan dari semua pihak mendapat amal baik yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Medan, Desember 2011 Penulis DAFTAR ISI Kata Pengantar................................................................................................ i Daftar Isi.......................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1 Latar Belakang...................................................................................... 1 Permasalahan........................................................................................ 2 Rumusan Masalah...................................................................... 2 Penegasan Konsep Variabel....................................................... 2 Deskripsi Masalah...................................................................... 2 Tujuan Pembahasan.............................................................................. 2 Pengertian istilah dalam judul............................................................... 3 Sistemetika Penulisan........................................................................... 3 BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 4 Identitas Novel..................................................................................... 4 Sinopsis................................................................................................ 5 Unsur- Unsur Intrinsik Novel............................................................... 6 Tema.......................................................................................... 6 Alur/ Plot.................................................................................... 7 Penokohan/ perwatakan............................................................. 9 Setting/ latar................................................................................ 10 Sudut pandang............................................................................ 10 Gaya Bahasa............................................................................. 10 Amanat....................................................................................... 10 Biografi Pengarang............................................................................... 11 Bab III PENUTUP............................................................................................. 12 Simpulan.............................................................................................. 12 Saran.................................................................................................... 12 Daftar Bacaan....................................................................................... 12 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hadirnya suatu karya sastra tentunya agar dinikmati oleh para pembaca. Untuk dapat menikmati sebuah karya secara sungguh-sungguh dan baik diperlukan seperangkat pengetahuan akan karya sastra. Tanpa pengetahuan yang cukup penikmatan akan sebuah karya hanya bersifat dangkal dan sepintas karena kurangnya pemahaman yang tepat. Dalam dunia kesusastraan penyair sering dilukiskan sebagai orang kerasukan yang bicara secara tidak sadar tentang apa saja yang dirasakan dalam tingkatan sub dan supra dan supra-rasional Hardjana, 1981 61. Dalam dunia fiksi kadang ada sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal sehat, karena memang dengan istilah seorang penyair mengejewantahkan imajinasinya untuk diwujudkan dalam karya sastra. Dalam dunia kesusastraan selalu identik dengan penjiwaan baik itu dari tingkat emosi pengarang maupun dari penikmat karya sastra. Hasil karya sastra tertentu merupakan hasil khayalan pengarang yang sedang mengalami keadaan jiwa tertentu Hardjana, 1981 65. Dari sinilah dapat kita simpulkan bahwa karya sastra merupakan sebuah bentukan out put dari proses pemikiran imajinatif pengarang dalam mengapresiasi untuk menjadi sesuatu yang estetik. Disamping itu, pengetahuan akan unsur-unsur yang membentuk karya sastra pun sangat diperlukan untuk memahami karya sastra secara menyeluruh. Tanpa pengetahuan akan unsur-unsur yang membangun karya sastra, pengetahuan kita akan dangkal dan hanya terkaan saja sifatnya, jika pengetahuan dengan cara demikian, maka maksud dan makna yang disampaikan pengarang kemungkinan tidak akan tertangkap oleh pembaca. Unsur-unsur karya sastra tersebut adalah unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang ada dalam tubuh karya sastra itu sendiri yang meliputi tema, alur, setting, penokohan, dan sudut pandang. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang berbeda diluar tubuh karya sastra yang meliputi adat istiadat, agama, politik, situasi zaman. Permasalahan Rumusan Masalah Dari uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur pembangun dalam karya sastra ada dua, yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Pada makalah ini penyusun akan menganalisis karya sastra yang berbentuk roman dengan judul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijch” Karya Haji Abdul Karim Amrullah Hamka. Penegasan Konsep Variabel Dalam makalah ini penulis hanya menganalisis satu variabel yaitu tentang analisis unsur intrinsik pada roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka. Deskripsi Masalah Agar pembahasan tidak terlalu meluas, maka penyusun membatasi analisis terhadap cerpen ”1” tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Haji Abdul Karim Amirullah Hamka dengan melihat unsur intrinsiknya yaitu 1. Tema 2. Alur 3. Tokoh 4. Latar belakang cerita 5. Diksi/ Pilihan kata 6. Amanat 7. Ending Tujuan Pembahasan Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan tentang unsur intrinsik terutama pada tema, tokoh, dan sudut pandang pada Roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Pengertian istilah dalam judul Judul dalam makalah ini adalah unsur intrinsik pada Roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka. Untuk menghindari terjadinya salah tafsir dan salah persepsi terhadap permasalahan dalam judul ini, maka penulis menjelaskan tentang istilah yang terdapat dalam judul sebagai berikut Unsur intrinsik adalah unsur yang ada dalam tubuh karya sastra itu sendiri yang meliputi tema, alur, penokohan, setting atau latar belakang cerita, diksi atau pilihan kata, amanat, sudut pandang dan ending cerita. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran dalam makalah ini, maka dalam sistematika penulisan digambarkan secara singkat mengenai isi makalah ini. Bab I Pendahuluan, didalamnya terdiri dari latar belakang masalah, permasalahan terdiri dari atas rumusan masalah, penegasan konsep variabel, deskripsi masalah, tujuan pembahasan, pengertian istilah dalam judul dan sistematika penulisan. Bab II Pembahasan, pada bab ini penulis akan menguraikan sebagai berikut Unsur- unsur intrinsik novel seperti tema, alur, tokoh, setting/ latar belakang cerita, diksi atau pilihan kata, amanat dan ending/ penyelesaian dari cerita tersebut. Bab IV Penutup, yang berisi kesimpulan, saran, dan Daftar Pustaka. Dengan bab ini diharapkan mampu memberikan gambaran tentang isi keseluruhan dari suatu penelitian yakni dengan kesimpulan-kesimpulan. Selain itu juga dapat memberikan suatu saran-saran bagi kita untuk menyempurnakan makalah ini BAB II PEMBAHASAN Identitas Novel Judul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Pengarang HAMKA Penerbit PT. Bulan Bintang 2002 Cetakan Ke- 26 Tebal 224 halaman Ukuran 21 cm Warna sampul Biru Pelaku Utama Zainuddin dan Hayati Negara Indonesia Bahasa Bahasa Melayu Genre Buku roman, Cinta Tarik pengeluaran 1939 pertama ISBN 979-418-055-6 Sinopsis Novel Roman yang dikarang oleh Prof. Dr. Hamka ini diterbitkan tahun 1939. Roman ini mengisahkan persoalan adat yang berlaku di Minangkabau dan persoalan kekayaan yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih. Sejak berumur 9 bulan, Zainuddin telah ditinggalkan Daeng Habibah ibunya, menyusul kemudian ayahnya yang bernama Pendekar Sutan. Zainuddin tinggal bersama bujangnya, Mak Base, Kira-kira 30 tahun yang lalu, ayahnya punya perkara dengan Datuk Mantari Labih mamaknya, soal warisan. Dalam suatu pertengkaran Datuk Mantari terbunuh. Pendekar Sutan kemudian dibuang ke Cilacap selama 15 tahun. Setelah selesai masa hukumannya, ia dikirim ke Bugis untuk menumpas pemberontakan yang melawan Belanda. Di sanalah Pendekar Sutan bertemu dengan Daeng Habibah. Untuk mencari keluarga ayahnya, Zainuddin pergi ke desa Batipuh di Padang. Di Padang ia tinggal di rumah saudara ayahnya, Made Jamilah. Sebagai seorang pemuda yang datang dari Makasar, ia merasa asing di Padang. Apalagi tanggapan saudara-saudaranya demikian. Demikian pula ketika ia dapat berkenalan dengan Hajati karena meminjamkan payungnya pada gadis itu. Hubungan antara Zainuddin dan Hajati makin hari tersiar ke seluruh dusun dan Zainuddin tetap dianggap orang asing bagi keluarga Hajati maupun orang-orang di menjaga nama baik kedua orang muda dan keluarga mereka masing-masing, Zainuddin disuruh meninggalkan Batipuh oleh mamak Hajati. Dengan berat hati Zainuddin meninggalkan Batipuh menuju Padang Panjang. Di tengah jalan Hajati menemuinya dan mengatakan bahwa cintanya hanya untuk Zainuddin. Zainuddin menerima kabar bahwa Hajati akan pergi ke Padang Panjang untuk melihat pacuan kuda atas undangan sahabat Hajati yang bemama Chadidjah. Zainuddin hanya dapat bertemu pandang di tempat itu karena bersama orang banyak ia terusir dari pagar tribune. Pertemuan yang sekejap itu membuat Hajati mendapat ejekan dari Chadidjah. Chadidjah sendiri sebenamya bermaksud menjodohkan Hajati dengan Aziz, kakak Chadidjah sendiri. Karena merasa cukup mempunyai kekayaan warisan dari orang tuanya setelah Mak Base meninggal, Zainuddin mengirim surat lamaran pada Hajati. Temyata surat Zainuddin bersamaan dengan lamaran Aziz. Setelah diminta untuk memilih, Hajati memutuskan memilih Aziz sebagai calon suaminya. Zainuddin kemudian sakit selama dua bulan karena Hajati menolaknya. Atas bantuan dan nasehat Muluk, anak induk semangnya, Zainuddin dapat merubah pikirannya. Bersama Muluk, Zainuddin pergi ke nama samaran “Z”, Zainuddin kemudian berhasil menjadi pengarang yang amat disukai pembacanya. la mendirikan perkumpulan tonil “Andalas”, dan kehidupannya telah berubah menjadi orang terpandang karena pekerjaannya. Zainuddin melanjutkan usahanya di Surabaya dengan mendirikan penerbitan buku-buku. Karena pekeriaan Aziz dipindahkan ke Surabaya, Hajati pun mengikuti suaminya. Suatu kali, Hajati mendapat sebuah undangan dari perkumpulan sandiwara yang dipimpin dan disutradarai oleh Tuan Shabir atau “Z”. Karena ajakan Hajati Aziz bersedia menonton pertunjukkan itu. Di akhir pertunjukan baru mereka ketahui bahwa Tuan Shabir atau “Z”adalah Zainuddin. Hubungan mereka tetap baik, juga hubungan Zainuddin dengan Aziz. Perkembangan selanjutnya Aziz dipecat dari tempatnya bekerja karena hutang yang menumpuk dan harus meninggalkan rumah sewanya karena sudah tiga bulan tidak membayar, bahkan barang-barangnya disita untuk melunasi hutang. Selama Aziz di Surabaya, ia telah menunjukkan sifat-sifatnya yang tidak baik. la sering keluar malam bersama perempuan jalang, berjudi, mabuk-mabukan, serta tak lagi menaruh cinta pada Hajati. Akibatnya, setelah mereka tidak berumah lagi. Mereka terpaksa menumpang di rumah Zainuddin. Di Surabaya inilah Zainudin bertemu dengan Hayati yang diantar oleh suaminya sendiri Azis, untuk dititipkan kepadanya, kemudian Azis mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Rasa cinta Zainudin pada Hayati sebenarnya masih membara, akan tetapi mengingat Hayati itu sudah bersuami, cinta yang masih menyala itu berusaha untuk dipadamkan, kemudian Hayati dibiayai untuk pulang ke nasib malang menimpa Hayati, dalam perjalanan pulang ke Batipun itu, kapal Van Der Wijck yang ditumpanginya tenggelam. Hayati meninggal dunia di rumah sakit di Cirebon. Di saat-saat akhir hayatnya, Hayati masih sempat mendengar dan melihat bahwa sebenarnya Zainudin masih sangat mencintainya, namun semua itu sudah terlambat. Tidak berselang lama, Zainudin menyusul Hayati ke alam baka, dan jenazah Zainudin dimakamkan persis di samping makan mantan kekasihnya, Hayati. Unsur- unsur Intrinsik Novel Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendiskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Analisis strukturalnya sebagai berikut Tema Dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka ini tentang kasih tak sampai. Sangat kental dengan budaya Minang yang sangat patuh akan peraturan adat. Adapula penggalan ceritanya “…….apa yang dikerjakannya, padahal cinta adalah sebagai kemudi dari bahtera kehidupan. Sekarang kemudi itu dicabut, kemana dia hendak berlabuh, teroleng terhempas kian kemari, daratan tak nampak, pulau kelihatan. Demikianlah nasib anak muda yang maksudnya tiada sampai 1986123. Alur/plot Dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka menggunakan alur maju mundur, karena menceritakan hal-hal yang sudah lampau atau masa lalu dan kembali lagi membahas hal yang nyata atau kembali ke cerita baru dan berlanjut. Ada lima tingkatan alur yakni Penyituasian Tahap penyituasian, tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, memberikan informasi awal dan lain-lain. Berikut ini merupakan tahap awal dari roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka yang berkaitan dengan tahap penyituasaian. “Di tepi pantai, di antara kampong Bara dan kampung Mariso berdiri sebuah rumah bentuk Makasar, yang salah satu jendelanya menghadap ke laut. Di sanalah seorang anak muda yang berusia kira-kira 19 tahun duduk termenung seorang diri menghadapkan mukanya ke laut. Meskipun matanya terpentang lebar, meskipun begitu asyik dia memperhatikan keindahan alam di lautan Makasar, rupanya pikiranya telah melayang jauh sekali, ke balik yang tak tampak di mata, dari lautan dunia pindah ke lautan khayal 198610. Konflik Tahap pemunculan konflik, masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Kejadian dan konflik yang dialami tokoh Hayati dan Zainuddin dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka bisa dilihat dari penggalan cerita berikut ini “Sesungguhnya persahabatan yang rapat dan jujur diantara kedua orang muda itu, kian lama kian tersiarkan dalam dudun kecil itu. Di dusen belumlah orang dapat memendang kejadian ini dengan penyelidikan yang seksama dan adil. Orang belum kenal percintaan suci yang terdengar sekarang, yang pindah dari mulut ke mulut, ialah bahwa Hayati, kemenakan Dt……..telah ber “intaian” bermain mata, berkirim-kirim surat dengan anak orang Makasar itu. Gunjing, bisik dan desus perkataan yang tak berujung pangkal, pun ratalah dan pindah dari satu mulut ke mulut yang lain, jadi pembicaran dalam kalangan anak muda-muda yang duduk di pelatar lepau petang hari. Hingga akhirnya telah menjadi rahasia umum. Orang-orang perempuan berbisik-bisik di pancuran tempat mandi, kelak bila kelihatan Hayati mandi di sana, mereka pun berbisik dan mendaham, sambil melihat kepadanya dengan sudut muda yang masih belum kawin dalam kampung sangat naik mereka adalah perbuatan demikian merendahkan derajat mereka seakan -akan kampung tak terutama sekali yang dihinakan orang adalah persukuan Hayati, terutama mamaknya sendiri Dt…yang dikatakan buta saja matanya melihat kemenakannya membuat malu, melangkahi kepala ninik –mamak. 198657 Tahap Peningkatan Konflik Konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Tahap peningkatan konflik dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka terjadi ketika Zainuddin dan Aziz sama-sama mengirimkan surat kepada orang tua Hayati, dari lamaran kedua pemuda itu, ternyata lamaran Aziz yang diterima karena orang tua Hayati mengetahui latar belakang pemuda yang kaya raya itu, sedangkan lamaran Zainudin ditolak karena orang tua Hayati tidak ingin anaknya bersuamikan orang miskin. Hal ini bisa terlihat dari penggalan cerita berikut ini ”Kalam dia tertolak lantaran dia tidak ber-uang maka ada tersedia uang yang dapat dipergunakan untuk menghadapi gelombang kehidupan sebagai seorang mahluk yang tawakkal.” 1986118 Klimaks Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Dalam Roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka, tahap klimaks terjadi ketika Aziz meminta supaya Zainuddin menikahi Hayati. Sekalipun dalam hati Zainuddin masih mencintai Hayati, Zainuddin menolak permintaan Aziz. Bahkan Zainuddin memulamgkan Hayati ke kampung halamannya dengan menggunakan Kapal Van Der Wijck. Hal ini bisa dilihat pada pernyataan berikut “Bila terjadi akan itu, terus dia berkata “Tidak Hayati ! kau mesti pulang kembali ke Padang! Biarkan saya dalam keadaan begini. Pulanglah ke Minangkabau! Janganlah hendak ditumpang hidup saya , orang tak tentu asal ….Negeri Minangkabau beradat !.....Besok hari senin, ada Kapal berangkat dari Surabaya ke Tanjung Periuk, akan terus ke Padang! Kau boleh menumpang dengan kapal itu, ke kampungmu”. 198619 Penyelesaian Tahap penyelasaian dalam Roman Tenggelamya Kapal Van Der Wijck karya Hamka ketika Zainuddin mendapat kabar bahwa Kapal yang ditumpangi Hayati tenggelam, sedangkan Hayati dirawat di Rumah Sakit Tuban. Dengan diterima Muluk sahabatnya Zainuddin menengok wanita yang sangat dicintainya itu. Rupanya pertemuan mereka itu adalah pertemuan yang terakhir karena Hayati menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam pelukan Zainuddin. Kejadian itu membuat Zainuddin merasakan penyesalan yang berkepanjangan hingga Zainuddin jatuh sakit dan meninggal dunia. Zainuddin dimakamkan di sebelah makam Hayati. Penokohan/ Perwatakan Pada roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka terdapat beberapa karakter di antaranya Karakter utama mayor karakter, protagonis adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang palaing banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh karakter utama yang ada dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka adalah tokoh Zainuddin, yang memiliki sopan santun dan kebaikan pada semua orang. Sedangkan yang lainnya yang menjadi tokoh protagonisnya adalah tokoh Hayati yang menjadi kekasih Zainuddin. Penggalan cerita yang menunjukkan Zainuddin adalah karakter yang baik adalah “Zainuddin seorang yang terdidik lemah lembut, didikan ahli seni, ahli sya’ir, yang lebih suka mengalah untuk kepentingan orang lain”. 1986 27 Karakter pendukung minor karakter, antagonis sosok tokoh antagonis dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka adalah tokoh Aziz, karena tokoh Aziz di sini mempunyai sikap yang kasar dan sering menyakiti istrinya, dan tidak mempunyai tanggung jawab dalam keluarga dan selalu berbuat kejahatan karena sering main judi dan main perempuan. “…..ketika akan meninggalakan rumah itu masih sempat juga Aziz menikamkan kata-kata yang tajam ke sudut hati Hayati…..sial”. 1811986 Karakter pelengkap adalah Muluk dan Mak Base karena keduanya adalah sosok yang bijak dan selalu berada di samping tokoh utama untuk memberi nasehat dan sangat setia menemani tokoh utama sampai akhir cerita Setting/latar Latar dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka berlatar di Mengkasar “Di waktu senja demikian, kota Mengkasar kelihatan hidup hal. 3” Padang Panjang” Bilamana Zainuddin sampai ke Padang Panjang , negeri yang ditujunya, telah di teruskannya ke dusun Batipuh karena menurut keterangan orang setempat, di sanalah negeri ayahnya yang asli hal. 20” Surabaya “ Diberanda subuah rumah makan yang ramai dalam kota Surabaya, sehabis waktu magrib duduklah Zainuddin seorang dirinya hal. 174” Sudut Pandang Pada roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka menggunakan sudut pandang orang ketiga tunggal karena menyebutkan dan menceritakan secara langsung karakter pelakunya secara gamblang. Penggalan cerita pada roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka sebagai berikut “Mula-mula datang, sangatlah gembira hati Zainuddin telah sampai ke negeri yang selama ini jadi kenang-kenagannya.”1986 26 Gaya Bahasa Dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka menggunakan kalimat yang sangat kompleks karena menggunakan bahasa melayu yang baku. Seperti dalam penggalan cerita berikut ini “Lepaskan Mak, jangan bermenung juga,” bagaimana Mamak tidak akan bermenung, bagaimana hati mamak tidak akan berat………..” 1986 22 Amanat Dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka mengandung nilai moral yang tinggi ini terlihat dari para tokoh yang ada seperti Zainuddin. Hal tersebut bisa kita lihat dari panggilan cerita berikut ini “Demikian penghabisan kehidupan orang besar itu. Seorang di antara Pembina yang menegakkan batu pertama dari kemuliaan bangsanya; yang hidup didesak dan dilamun oleh cinta. Dan sampai matipun dalam penuh cinta. Tetapi sungguhpun dia meninggal namun riwayat tanah air tidaklah akan dapat melupakan namanya dan tidaklah akan sanggup menghilangkan jasanya. Karena demikian nasib tiap-tiap orang yang bercita-cita tinggi kesenangannya buat orang lain. Buat dirinya sendiri tidak”. 1986223 Biografi Pengarang HAMKA adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau lahir di Molek, Meninjau, Sumatra Barat, Indonesia pada tanggal 17 Februari 1908. Ayah beliau bernama Syeh Abdul Karim bin Amrullah Haji Rasul. Ketika Hamka berumur 10 tahun ayahnya membangun Thawalib Sumatra di Padang Panjang. Di sana Hamka belajar tentang ilmu agama dan bahasa Arab. Di samping belajar ilmu agama pada ayahnya, Hamka juga belajar pada beberapa ahli Islam yang terkenal seperti Syeh Ibrahim Musa, Syeh Ahmad Rasyid, Sutan Mansyur dan Ki Bagus Hadikusumo. Pada tahun 1927 Hamka menjadi guru agama di Perkebunan Tinggi Medan dan Padang Panjang tahun 1929. tahun 1957-1958 Hamka sebagai dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhamadiyah Padang Panjang. Hamka tertarik pada beberapa ilmu pengetahuan seperti sastra, sejarah, sosiologi, dan politik. Pada tahun 1928 Hamka menjadi ketua Muhammadiyah di Padang Panjang. Tahun 1929 beliau membangun “Pusat Latihan Pendakwah Muhammadiyah” dua tahun kemudian menjadi ketua Muhammadiyah di Sumatra Barat dan Pada 26 juli 1957 beliau menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia. Hamka sudah menulis beberapa buku seperti Tafsir Al-Azhar 5 jilid dan novel seperti; Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di bawah Lindungan Ka’bah, Merantau Ke Deli, Di dalam Lembah Kehidupan dan sebagainya. Hamka memperoleh Doctor Honoris Causa dari Universitas Al- Azhar 1958, Doctor Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia 1974 dan pada 24 juli 1981 Hamka meninggal dunia. BAB III PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil analisis data tentang roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka dapat disimpulkan sebagai berikut 1. Struktur roman terdiri dari tema, alur/plot, setting/latar, sudut pandang, karakter, gaya bahasa, dan amanat, di mana hubungan antar unsur dalam roman ini menunjukkan hubungan yang begitu padu sehinggga menghasilkan jalinan cerita yang sangat menarik. 2. Unsur religiusitas roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka mengandung aspek aqidah, syariah, dan akhlak yang tergambar dalam setiap perilaku tokoh yang dimainkan, di samping itu pengarang sendiri sebagai seorang agamawan yang begitu kental memasukkan unsur–unsur agama ke dalam roman ini Saran Hendaknya dalam menjalani hidup dan kisah percintaan tidak selalu terikat oleh adat yang sangat ketat, yang menyebabkan hubungan antara dua orang yang saling mengasihi terpisah oleh karena masalah adat. Dan bagi orang tua hendaknya tidak memaksakan kehendak terhadap anak- anaknya agar menuruti perintahnya untuk menjodohkan dia dengan pilihan orang tua tersebut. Karena anak juga dapat memilih jalan hidup yang menurut dia itu adalah hal yang terbaik sebagai pilihan hidupnya kelak. . Abstrak Seiring dengan menguatnya ideologi nasionalis-sekuler pascakemerdekaan, muncullah konsep nasionalisme berdasarkan sejumlah sumber yang bertolak belakang satu sama lain. Itulah nasionalisme eklektik ala Soekarno yang menerapkan analisis Marxis tentang penindasan imperialisme dan pada saat yang sama, menggunakan sikap permusuhan kaum Muslimin terhadap penjajah kafir. Ia menggelindingkan konsep Nasakom untuk menyimbolkan kesatuan nasionalisme, agama dan komunisme. Dalam konteks ini, penulis melihat permasalahan kompleks ideologi Nasakom sehingga banyak tokoh, ulama dan ilmuwan Muslim yang mengambil jarak dengan tokoh nomor wahid di Indonesia saat itu, seperti Muhammad Natsir, Haji Agus Salim, Muhammad Hatta dan Hamka. Tokoh yang disebut belakangan, yakni Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah Hamka inilah yang menjadi perhatian penulis terkait konsep nasionalisme yang diusungnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konstruksi pemikiran nasionalisme-religius Hamka dalam karya-karya sastranya, seperti Si Sabariah, Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Merantau ke Deli. Data-data yang diperoleh dari novel-novel di atas dianalisis melalui teori hermeneutika, suatu pendekatan ilmiah yang menghubungkan antara pembaca qari dengan teks al-Maqru'. [Along with the strengthening of secular-nationalist ideology post-independence, Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck oleh Hamka merupakan salah satu novel klasik yang sangat terkenal di Indonesia. Novel yang diterbitkan pada tahun 1926 ini menceritakan tentang perjuangan seorang pemuda Minangkabau bernama Maulana yang ingin memenuhi keinginan ayahnya untuk menyelesaikan pendidikannya di Batavia. Namun, ia harus menghadapi berbagai masalah seperti persoalan cinta dan intrinsik novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mencakup beberapa hal, mulai dari alur cerita, latar belakang, tokoh, dan lainnya. Pada artikel ini, kita akan menganalisis unsur-unsur intrinsik tersebut secara lebih CeritaAlur cerita dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck berjalan dalam sudut pandang orang ketiga. Novel ini dimulai dengan bercerita tentang Maulana yang ingin melanjutkan pendidikan di Batavia. Ia berangkat dari Minangkabau bersama ayahnya, yang di saat bersamaan juga berangkat untuk menyelesaikan hajinya. Di tengah perjalanan, kapal mereka pun terkena badai dan akhirnya mendapatkan bantuan dari kapal lain, Maulana dan ayahnya pun tiba di Batavia. Di sana, Maulana bertemu dengan beberapa tokoh penting seperti Datuk Perkasa, Datuk Maringgih, dan Raden Mas Said. Di sini, Maulana juga harus menghadapi berbagai masalah, seperti cintanya yang tersiar, persoalan keluarga, dan lainnya. Novel ini pun berakhir dengan Maulana yang berhasil menyelesaikan pendidikannya dan kembali ke kampung BelakangLatar belakang novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck berlatar di Minangkabau dan Batavia sekarang Jakarta. Hal ini penting untuk mengetahui karena novel ini bercerita tentang perjuangan seorang pemuda Minangkabau untuk menyelesaikan pendidikannya di Batavia. Novel ini juga menceritakan tentang kehidupan di Minangkabau pada masa itu, termasuk adat dan budaya itu, novel ini juga menceritakan tentang kehidupan di Batavia pada masa itu. Di Batavia, Maulana bertemu dengan beberapa tokoh penting seperti Datuk Perkasa, Datuk Maringgih, dan Raden Mas Said. Novel ini juga menceritakan tentang kehidupan di Batavia pada masa itu, termasuk budaya dan adat di wilayah utama dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah Maulana. Ia merupakan seorang pemuda Minangkabau yang ingin melanjutkan pendidikannya di Batavia. Ia adalah tokoh yang kuat, berani, dan teguh pada prinsip. Ia juga berjuang untuk memenuhi keinginan ayahnya dan menyelesaikan Maulana, ada juga beberapa tokoh lain yang memiliki peran penting dalam novel ini. Beberapa di antaranya adalah Datuk Perkasa, Datuk Maringgih, Raden Mas Said, dan sebagainya. Mereka berperan sebagai mentor, penasihat, dan teman bagi utama dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah perjuangan. Novel ini menceritakan tentang perjuangan seorang pemuda Minangkabau bernama Maulana yang ingin memenuhi keinginan ayahnya untuk menyelesaikan pendidikannya di Batavia. Perjuangan Maulana tidak hanya melibatkan dirinya sendiri, tapi juga orang-orang di itu, tema lain yang juga ditampilkan dalam novel ini adalah persahabatan, cinta, keluarga, dan keadilan. Novel ini juga mengajarkan kita tentang pentingnya memegang teguh prinsip dan menghormati orang BahasaGayan bahasa yang digunakan dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah bahasa Indonesia yang santai. Penggunaan bahasa santai ini dimaksudkan agar novel ini mudah dipahami oleh pembaca. Penggunaan bahasa ini juga membuat novel ini lebih menarik dan mudah dicerna itu, gaya bahasa yang digunakan juga berfokus pada pemakaian kata-kata yang bersifat sederhana dan mudah dipahami. Penggunaan bahasa sederhana ini dimaksudkan agar pembaca mudah memahami maksud dari novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ditulis oleh seorang pengarang terkenal bernama Hamka. Ia adalah seorang ulama, politisi, dan novelis yang lahir di Minangkabau pada tahun 1908. Selain novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Hamka juga menulis beberapa novel lainnya seperti Sitti Nurbaya, Idaman Kekal, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah salah satu karya Hamka yang paling terkenal. Novel ini menceritakan tentang perjuangan seorang pemuda Minangkabau untuk menyelesaikan pendidikannya di Batavia. Novel ini juga mengajarkan kita tentang pentingnya memegang teguh prinsip dan menghormati orang Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck merupakan salah satu novel klasik yang sangat terkenal di Indonesia. Novel karya Hamka ini menceritakan tentang perjuangan seorang pemuda Minangkabau untuk menyelesaikan pendidikannya di Batavia. Unsur intrinsik dari novel ini meliputi alur cerita, latar belakang, tokoh, tema, gaya bahasa, dan ini juga mengajarkan kita tentang pentingnya memegang teguh prinsip dan menghormati orang lain. Dengan demikian, novel ini menjadi salah satu novel klasik yang bisa menginspirasi dan menghibur pembaca. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck is one of Indonesian movie which made by Sunil Soraya, and this movie was adapted from a novel that has the same title, it is opus of famous man of letters named Buya Hamka . This movie describes the life of a handsome man that decline of Minangkabau-Bugis. He has social and internal conflicts that were very tremendous and surprised, because this movie told about conflict between three actors that was amazing. Generally this movie is very interesting, but in the other side the story in this movie is sadden too, because the man always feels internal pressure. Also, this movie gives description concern with heart firmness of a man in struggles for his love and life for a girl which he loves.

analisis novel tenggelamnya kapal van der wijck